DPP LSM Gempa Indonesia Resmi Laporkan ke Mabes Polri, Polda Sulawesi Selatan, Dengan Dugaan Pelanggaran HAM, Etik Profesi Polisi, Dalam Penangkapan Sampara Bin Sahabuddin !!!!
Makassar, 19 Januari 2025 –
DPP LSM Gempa Indonesia resmi melaporkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kode etik profesi polisi, dan Peraturan Kapolri (Perkap) ke Mabes Polri, Kadiv Propam Mabes Polri, Polda Sulawesi Selatan, serta Kabid Propam Polda Sulawesi Selatan. Laporan ini terkait penangkapan tanpa prosedur terhadap Sampara bin Sahabuddin oleh empat anggota Polres Pelabuhan Makassar pada 8 Januari 2025.
Kronologi Penangkapan
Sampara bin Sahabuddin ditangkap saat mengisi barang dagangan berupa pecah belah di Toko Fajar Arta, Jalan Mangadel, Makassar. Penangkapan tersebut dilakukan tanpa adanya surat perintah penangkapan dan surat perintah membawa. Sampara bersama istri (Ida ) dan anaknya ( Risaldi) dibawa ke Polres Pelabuhan Makassar bersama kendaraan bermuatan barang dagangan. Hingga kini, keluarga Sampara belum menerima surat perintah penangkapan maupun penahanan.
Kasus Perdata yang Dipaksakan Menjadi Pidana
Kasus ini bermula pada Mei 2024, ketika Sampara mengambil barang pecah belah dari Antoni Liongianto dengan sistem pembayaran "laku baru dibayar." Kerja sama ini berjalan baik selama 19 bulan, namun berakhir karena adanya tunggakan pembayaran yang terus dicicil oleh Sampara. Pada 12 November 2024, Antoni melaporkan Sampara atas dugaan penggelapan dan penipuan berdasarkan LP.B/303/XI/2024/Sulsel/Res Pelabuhan Makassar.
Dugaan Intimidasi dan Penyalahgunaan ini
Pada 20 Januari 2025, mobil truk Mitsubishi Canter milik Sampara diserahkan kepada Antoni Liongianto melalui anak buahnya, yakni Nando, yang diduga atas perintah penyidik. Menurut Risal, anak Sampara "penyidik mengancam keluarganya untuk menyerahkan mobil dengan alasan bahwa jika kasus ini berlanjut di Kejaksaan maka seluruh keluarganya dapat dipenjara hingga 10 tahun, dan hartanya disita.
Mobil lain, Suzuki Carry DD 8784 TC, yang turut disita oleh Polres Pelabuhan, hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Mobil tersebut masih dalam status cicilan atas nama Risal, dan keluarga menduga ada penyalahgunaan wewenang dalam penyitaan tersebut.
Tuntutan DPP LSM Gempa Indonesia
Ketua DPP LSM Gempa Indonesia mendesak:
1. Sampara bin Sahabuddin segera dibebaskan dari tahanan Polres Pelabuhan Makassar.
2. Pengembalian kendaraan yang disita, baik oleh polisi maupun Antoni Liongianto.
3. Penindakan terhadap empat anggota polisi yang diduga melakukan pelanggaran HAM, etika profesi, dan Perkap Polri, termasuk penyidik yang menangani kasus ini.
4. Penyelidikan ulang untuk memastikan transparansi dan profesionalitas penanganan kasus.
Ketua LSM Gempa Indonesia juga menyoroti bahwa penangkapan tanpa surat perintah penangkapan ini tidak ada surat perintah membawa, serta diduga tidak adanya proses gelar perkara untuk peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan. Tentunya ini melanggar Peraturan Kapolri dan HAM, Dengan ketentuan 19 hari dalam tahanan tanpa kejelasan status hukum, tindakan ini dinilai menciderai prinsip-prinsip keadilan.
DPP LSM Gempa Indonesia berharap laporan ini segera ditindaklanjuti untuk menjaga kredibilitas institusi kepolisian yang selama ini kita anggap sebagai pengayom masyarakat, tutupnya.
RedMGI/Ridwan Umar.