Korupsi Ordinary Crime; Prosedur dan Peran Lembaga Yang Berwenang (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK)
MAKASSAR - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Korupsi adalah suatu bentuk ketidakjujuran atau tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau suatu organisasi yang dipercayakan dalam suatu jabatan kekuasaan, untuk memperoleh keuntungan yang haram atau penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi seseorang.
Korupsi dapat melibatkan banyak kegiatan yang meliputi penyuapan, penjualan pengaruh dan penggelapan dan mungkin juga melibatkan praktik yang legal di banyak negara.
Korupsi politik terjadi ketika pejabat atau pegawai pemerintah lainnya bertindak dengan kapasitas resmi untuk keuntungan pribadi. Korupsi paling umum terjadi di kleptokrasi, oligarki, negara-narkoba, dan negara bagian mafia.
Korupsi dianggap kejahatan luar biasa karena dilakukan secara sistemik, kompleks dan terencana oleh para penyelenggara negara. Korupsi sistemik terjadi ketika semua pihak di sebuah negara bisa melakukannya, mulai dari tataran terendah hingga posisi tinggi di pemerintahan.
Prosedur penanganan kasus korupsi di Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK berawal dari adanya laporan pengaduan oleh masyarakat. Kemudian, akan diadakan penyelidikan untuk memastikan apakah ada penyimpangan dalam suatu peristiwa yang dilaporkan.
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001. Jenis tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah: 1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi 2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka 4. Saksi atau ahli.
Yang termasuk kategori tindak pidana korupsi seperti yang tertuang dalam UU 31/1999 dan perubahannya dirumuskan jenis-jenis tindak pidana korupsi sebanyak 30 jenis yang dapat disederhanakan menjadi 7 kelompok, yaitu korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan.
Ada 30 jenis tindak pidana korupsi yang dirumuskan dari 13 Pasal dalam UU Nomor 31 tahun 1999 jo. UU Nomor 20 tahun 2001. Kemudian 30 jenis tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi 7 kelompok.
Adapun UU yang mengatur tentang tindak pidana korupsi antara lain; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak pidana korupsi.
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditentukan mengenai 5 alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Minimal 2 alat bukti sebagai pedoman. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditentukan mengenai 5 alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Bagaimana agar informasi dan dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi. Dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.
Termasuk rekaman video sebagai salah satu alat bukti yang sering digunakan untuk mendasari asal terjadinya suatu tindak pidana yang terjadi.
Dalam melaksanakan tugas supervisi tersebut, KPK berdasarkan Pasal 10A ayat (1) UU KPK memiliki kewenangan tambahan yaitu KPK mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan.
Editor: Ridwan U
Penulis; OMBINTANG (Asdar Akbar),